|
Tentara Salib |
Perang
Salib, satu di antara dua hal yang paling sering dipakai untuk
menyerang Gereja Katolik. Satu hal yang lain ada Inkuisisi. Sering
penyerang mengutip fakta sejarah separuh-separuh, sedang mereka yang
diserang tidak tahu fakta sejarah sama sekali. Mari kita kali ini
melihat masalah Perang Salib secara umum.
Sebenarnya Perang Salib itu apa?
Perang
Salib sering digambarkan sebagai usaha orang Kristen Eropa untuk
menduduki tanah Islam, yaitu Timur Tengah. Orang Islam sendiri
digambarkan sebagai pihak yang cinta damai. Ini adalah gambaran yang
salah. Secara historis, sebagian daerah Timur Tengah adalah tanah
Kristen. Meski propaganda Islam mengatakan bahwa agama Islam adalah
agama damai, kenyataannya tidak demikian. Islam berkembang melalui
peperangan. Pada saat kelahiran Islam pada abad ketujuh, Muhammad
memimpin perang di Jazirah Arab. Pasukan Arab Islam menghadapi dua
kerajaan besar dunia waktu itu yang saling berperang, Byzantium dan
Persia. Byzantium didominasi oleh Kristen sedang Persia oleh Zoroaster.
Kerajaan Persia berhasil ditaklukkan dan terserap ke dominasi Islam.
Zoroaster sekarang tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil keluarga.
Sekarang tujuan invasi Islam tinggal satu yaitu Byzantium. Seluruh
tentara Byzantium di Timur Tengah dikalahkan oleh tentara Arab Islam
pada 636 dan Yerusalem jatuh pada tahun 638.
|
Invasi Islam |
Pada
abad kedelapan, bangsa Arab, sambil membawa Islam, telah menaklukkan
seluruh Afrika Utara, yang sebelumnya didiami orang Kristen. Penduduk
Afrika Utara, bangsa Berber, yang sebelumnya Kristen sekarang menjadi
Islam. Bahkan tentara Berber Islam pada tahun 711 telah mendarat di
daratan Spanyol atas nama Kekhalifahan Umayyad (Arab) dan menghancurkan
pasukan Kristen Visigoth. Pada tahun 712 mereka telah mencapai jantung
Semenanjung Iberia. Pada tahun 730, tentara Berber Islam (ditambah
tentara Arab Islam yang datang belakangan) ini telah memasuki jantung
Perancis. Mereka akhirnya dapat ditahan oleh Charles Martel di
Pertempuran Tours (Poitiers) pada tahun 732.
|
Bataille de Poitires, oleh Charles de Steuben
Perhatikan Salib tegak berdiri | |
Kisah
penaklukan dunia oleh bangsa Islam tidak berhenti di sana. Pada abad
kedelapan, bangsa Islam telah menguasai Sisilia (bagian Italia sekarang)
dan beberapa pulau Mediterania. Pada abad kesebelas, dunia Islam
dipimpin oleh bangsa Turki (Kekhalifahan Ottoman), yang telah
menaklukkan Asia Kecil (Republik Turki sekarang), yang juga merupakan
daerah Kristen. Semua daerah Kristen ini (kecuali Spanyol dan Perancis)
adalah wilayah Byzantium dulunya. Kerajaan Byzantium yang dulunya luas
sekarang hanya tersisa sedikit. Bahkan Kerajaan Byzantium sekarang
menghadapi masalah besar yaitu tentara Islam yang berkemah di luar
ibukota Constantinople. Penguasa Constantinople meminta bantuan kepada
kerajaan Eropa lainnya. Paus Urban II menjawab pada Konsili Clermont
1095 dengan meminta para ksatria Eropa untuk membantu Byzantium. Inilah
yang menjadi Perang Salib. Perang salib bukanlah usaha Paus yang gila
kuasa untuk menyerang kaum lemah lembut cinta damai. Perang Salib adalah
usaha bangsa Kristen Eropa untuk bertahan dari gempuran Islam, yang
dalam 400 tahun telah berhasil menguasai 2/3 tanah Kristen dan
mengeringkan 3/5 Patriarchate (Alexandria, Antiokhia, Yerusalem).
|
Wilayah Kekhalifahan Ottoman,
pada saat kejayaannya |
Tentara
Salib sendiri sering digambarkan sebagai tentara yang haus kekayaan,
ketenaran dan popularitas. Para pemimpin Tentara Salib katanya adalah
anak bangsawan kedua atau ketiga, yang tidak memiliki tanah dan kuasa
karena mereka bukan ahli waris. Tujuan mereka bergabung dengan Tentara
Salib adalah demi mendapatkan gelar, kuasa, kekayaan dan tanah.
Kenyataannya berbeda jauh. Pemimpin Tentara Salib adalah para raja suatu
kerajaan atau putra mahkota. Tujuan mereka bersifat spiritual. Mereka
bergabung dengan Tentara Salib sebagai tanda penitensi dan peziarahan.
Gereja Katolik sendiri memberikan para Tentara Salib indulgensi
peziarah. Banyak di antara mereka rela menggadaikan tanah milik mereka
demi membiayai pengadaan pasukan dan artileri yang tidak sedikit. Banyak
di antara mereka akhirnya pulang dalam keadaan miskin.
Tujuan
Perang Salib ada dua. Pertama membantu Gereja Timur menangkal serangan
Islam, sebagaimana yang mereka minta. Kedua, menguasai Yerusalem lagi
yang telah ditaklukkan oleh Islam sehingga orang Kristen dapat berziarah
dengan aman. Ketika berada di bawah kekuasaan tentara Arab Islam,
bangsa Kristen tetap diberi kebebasan menjalankan ziarah ke Yerusalem
(kecuali saat kekuasaan Kalifah Hakim si Gila, yang menghancurkan gereja
dan menganiaya orang Yahudi dan Kristen). Hal ini berbeda saat dunia
Islam dipimpin oleh bangsa Turki (Kekhalifahan Ottoman). Mereka menutup
kota Yerusalem. Orang Kristen dilarang berziarah. Tentara Salib tidak
pernah berniat menduduki Jazirah Arab, rumah kelahiran Islam. Ini
menandakan bahwa Perang Salib murni bersifat bertahan.
|
St. Bernard de Clairvaux, Preaching for Crusade,
pelukis tidak diketahui |
Perang
Salib adalah perang. Ini berarti pasti ada pembunuhan dan aneka tindakan
brutal lainnya. Meski bukan tujuan utama, Tentara Salib tidak menolak
jarahan tetapi penjarahan adalah suatu tindakan lazim dalam perang meski
sampai kini. Perang Salib juga tidak ditujukan untuk menyerang kaum
Yahudi meski pada kenyataannya beberapa daerah Yahudi diserang. Atas
kejadian, ini Paus, para uskup dan pengkhotbah (mis. St. Bernard)
jelas-jelas mengutuknya. Korban di pihak Yahudi dapat dianggap sebagai
“collateral damage” yang pasti terjadi di setiap perang.
Episode Perang Salib
Setelah
membersihkan benak dari berbagai mitos tidak benar akan Perang Salib,
mari kita sekarang melihat episode Perang Salib itu sendiri.
Perang Salib Pertama
Pada
1071, tentara Byzantium berhasil dikalahkan oleh tentara Turki Islam di
Manzikert, dekar Armenia. Ini bearti seluruh wilayah Byzantium di Asia
Kecil terbuka tanpa pertahanan. Dengan cepat tentara Turki Islam ini
berkemah di Nicea, dekat Constantinople, ibukota Byzantium. Kaisar
Byzantium, Alexius Comnenus, memohon bantuan kepada Paus. Sialnya Paus
saat itu, Gregorius VII, meski sempat berpikiran untuk memimpin langsung
bala bantuan ke Byzantium, sedang ribut dengan Kaisar Romawi Suci,
Henry IV, dan invasi Normandia oleh Robert Guiscard.
|
Kota Manzikert terletak di atas kanan
yang ada tulisan 1071 |
Permohonan
putus asa Byzantium ini baru mendapatkan perhatian yang memadai oleh
Paus berikutnya, Paus Urban II. Pada musim semi 1095, paus mengizinkan
utusan Byzantium untuk menyampaikan permohonan mereka di Konsili
Piacenza. Paus Urban II memberi hukuman bagi bangsawan yang enggan
membantu. Kemudian Paus, pada 27 November 1095, memberikan khotbah pada
Konsili Clermont. Reaksi para pendengar sungguh mengagetkan.
|
Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont
Berkotbah dan terdengar teriakan "Deus Vult!", "Allah menghendaki" |
Pidato
Pada
tahun 1095 sebuah pertemuan akbar dilangsungkan di Clermont, Prancis.
Dengan pidato yang berapi-api Paus Urbanus II membakar emosi umat
Kristen :
"Hai
orang-orang Franka, hai orang-orang di luar pegunungan ini, hai
orang-orang yang dicintai Tuhan, yang jelas dari perilaku kalian, yang
membedakan diri dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini, karena iman
kalian, karena pengabdian kalian pada gereja suci; inilah pesan dan
himbauan khusus untuk kalian:
Kabar
buruk telah tiba dari Yerussalem dan Konstantinopel, bahwa sebuah
bangsa asing yang terkutuk dan menjadi musuh Tuhan, yang tidak lurus
hatinya, dan yang jiwanya tidak setia pada Tuhan, telah menyerbu tanah
orang-orang Kristen dan membumihanguskan mereka dengan pedang dan api
secara paksa.
Tidak
sedikit orang-orang Kristen yang mereka tawan untuk dijadikan budak,
sementara sisanya dibunuh. Gereja-gereja, kalau tidak mereka hancurkan,
mereka jadikan masjid. Altar-altar diporak-porandakan. Orang-orang
Kristen mereka sunat, dan darahnya mereka tuangkan pada altar atau
tempat-tempat pembaptisan. Beberapa mereka bunuh secara keji, yakni
dengan membelah perut dan mengeluarkan ususnya. Mereka tendang
orang-orang Kristen, dan mereka dipaksa berjalan sampai keletihan,
hingga terjerembab di atas tanah. Beberapa dipergunakan sebagai sasaran
panah. Ada yang mereka betot lehernya, untuk dicoba apakah bisa mereka
penggal dengan sekali tebas. Lebih mengerikan lagi perlakuan mereka
terhadap perempuan.
Kewajiban
siapa lagi kalau bukan kalian, yang harus membalas dan merebut kembali
daerah-daerah itu? Ingatlah, Tuhan telah memberi kalian banyak kelebihan
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain: semangat juang, keberanian,
keperkasaan dan ketidakgentaran menghadapi siapapun yang hendak melawan
kalian. Ingatlah pada keberanian nenek moyang kalian, pada kekaisaran
Karel Agung dan Louis, anaknya serta raja-raja lainnya yang telah
membasmi Turki dan menegakkan agama Kristen di tanah mereka. Kalian
harus tergerak oleh makam kudus Tuhan Yesus Sang Juru Selamat kita, yang
kini ada di tangan orang-orang najis; kalian harus bangkit berjuang,
karena kalian telah tahu, banyak tempat-tempat suci yang telah dikotori,
diperlakukan secara tidak senonoh oleh mereka.
Hai
para ksatria pemberani, keturunan nenek moyang yang tak tertaklukkan,
janganlah lebih lemah daripada mereka, tetapi ingatlah pada
ketidakgentaran mereka. Jika kalian ragu-ragu karena cinta kalian kepada
anak-anak, isteri, dan kerabat kalian, ingatlah pada apa yang Tuhan
katakan dalam Injil: “Ia yang mengasihi ayah dan ibunya lebih daripada
Aku, tidak pantas bagi-Ku”…Jangan biarkan apa yang menjadi kepunyaan
kalian menghambat kalian. Kalian tak perlu khawatir dengan apa yang
menjadi kepunyaan kalian. Negeri kalian telah padat penduduknya, dan
dari semua sisi tertutup laut dan pegunungan. Tak banyak kekayaan di
sini, dan tanahnya jarang membuahkan hasil pangan yang cukup buat
kalian. Itulah sebabnya sering bertikai sendiri. Hentikan
kesalingbencian dan pertengkaran kalian, hentikan peperangan antar
sesama kalian. Bergegaslah menuju Makam Kudus, rebutlah kembali negeri
itu dari orang-orang jahat, dan jadikan miliki kalian. Negeri itu,
seperti dikatakan di dalam Alkitab, berlimpah susu dan madu, Allah
memberikannya kepada anak-anak Bani Israil. Yerussalem, negeri terbaik,
lebih subur daripada lainnya, seolah-olah surga kedua. Inilah tempat
Juru Selamat kita dilahirkan, diperintah dengan kehidupan-Nya, dan
dikuduskan dengan penderitaan-Nya. Bergegaslah, dan kalian akan
memperoleh penebusan dosa, serta pahala di Kerajaan Surga."
Serendak
seluruh peserta Konsili merespon positif. Mereka mengambil salib merah
sebagai lambang tentara. Dalam beberapa jam, seluruh kain berwarna merah
lenyap dari kota karena dipotong menjadi lambang salib dan dijahit ke
pakaian para kesatria. Petani pun merespon seruan ini. Ribuan petani
dan kesatria tak berpengalaman berjalan kaki dari Eropa ke Timur Tengah
dan memasuki daerah musuh tanpa garis komando yang jelas, tanpa pemimpin
tunggal, tanpa logistik, tanpa taktik yang rinci. Mereka hanya ingin
menolong Gereja Timur dan membebaskan Yerusalem. Alhasil, dengan
mudahnya mereka dikalahkan. Tentara yang dibangun atas spontanitas ini
disebut Tentara Salib Petani (Peasant Crusade) atau Tentara Salib Rakyat
(Peoples’ Crusade). Karena tidak memiliki pemimpin, Tentara Salib ini
bergerak tidak terpimpin. Beberapa kelompok, sedihnya, menyerang kaum
Yahudi.
Para
baron Frankis menghimpun kekuatan dan memimpin Tentara Salib dengan
lebih persiapan yang lebih baik pada tahun 1096. Saat ini tidak ada raja
yang ikut. Tentara Salib kali ini dipimpin oleh Bohemond of Taranto,
Raymond of Tolouse, Hugh of Vermandois, Godfrey of Bouillon, Balwin of
Bologne, Robert of Flanders, dan Robert of Normandy. Paus Urban II juga
mengirimkan utusannya, Uskup Le Puy, Mgr. Adhemar, yang akan berperan
menjada keharmonisan para pemimpin ini.
Tentara
ini mencapai Constantinople pada April 1907. Pada Juni 1097 mereka
berhasil mengembalikan Nicea (kota dekat Constantinople) ke tangan orang
Kristen. Pada tanggal 1 Juli 1907, Tentara Salib menyerang Dorylaeum.
Pada Oktober 1907, Tentara Salib mencapai Antiokhia dan mengepungnya.
Pada tahun 1908 Antiokhia dibebaskan. Meski sempat dikempung balik,
Tentara Salib berhasil menghalau tentara Turki Islam pada tanggal 28
Juni 1098. Para pemimpin setuju untuk beristirahat hingga tanggal 1
November 1098. Pada bulan Agustus, Uskup Adhmar meninggal tanpa
meninggalkan pengganti. Sekarang para pemimpin kehilangan pemersatu.
Bohemond enggan berangkat dan ingin menguasai Antiokhia sendirian.
Raymond of Tolouse tetap ingin menyerang Yerusalem. Para tentara mendung
Raymond bahkan mengancam akan merubuhkan tembok kota bila mereka
diperintah untuk tinggal di Antiokhia.
Pada
tanggal 13 Januari 1099, Raymond memimpin Tentara Salib menuju
Yerusalem. Pada tanggal 7 Juni, Tentara Salib berhasil melihat Yerusalem
dari Mountjoy, tempat para peziarah menatap Yerusalem pertama kali
dalam peziarahan mereka. Saat ini ditandai dengan air mata haru dan
ucapan syukur sambil berlutut oleh para tentara kepada Tuhan karena
telah menyertai peziarahan mereka.
Pengepungan
Yerusalem lebih sulit daripada Antiokhia. Di tengah keputus-asaan,
seseorang dari tentara mengatakan bahwa ia mendapat mimpi dari Uskup
Adhemar yang meminta mereka mengitari tembok Yerusalem di siang hari
terik dengan telanjang kaki, berpuasa dan memohon kepada Tuhan. Para
tentara mendapatkan semangat mereka lagi dan benar-benar melakukan
permintaan Uskup Adhemar. Pada tanggal 15 Juni 1099, Tentara Salib mulai
menyerang kota Yerusalem lagi. Godfrey of Bouillon bahkan melakukannya
sambil memanggul salib. Tentara Godfrey berhasil masuk dan membuka
Gerbang St. Stefanus. Tetapi Yerusalem baru jatuh setelah tentara
Raymond ikut masuk ke Yerusalem.
|
Mungkin gambar ini lebih cocok
untuk Tentara Salib yang berziarah |
Pada
Juli 1099, Yerusalem berhasil dibebaskan. Terjadi Penjarahan dan
pembunuhan orang tidak berdosa (The Sack of Jerusalem). Baik Raymond
maupun Godfrey tidak terlibat dan tidak menyetujui tindakan ini. Banyak
pihak menyalahkan Tentara Salib akan Penjarahan Yerusalem ini, bahkan
menambahkan pembantaian menyebabkan banjir darah hingga setinggi mata
kaki. Pembantaian dan penjarahan kota taklukan adalah sesuatu yang biasa
pada perang terutama perang zaman dahulu. Meski ini terlihat brutal
dari kacamata modern, ini adalah sesuatu yang lazim bagi Abad
Pertengahan. Mengenai darah setinggi mata kaki, hal itu jelas tidak
mungkin. Dengan luas kota Yerusalem, dibutuhkan banyak sekali korban
untuk bisa menggenangi seluruh kota dengan darah hingga setinggi mata
kaki. Jumlah penduduk di sekitar Yerusalem saat itu pun tidak akan
mencukupi.
Kerajaan
Salib di Timur Tengah didirikan. Raymond dan Godfrey menolak mahkota
Yerusalem dengan alasan mereka tidak mau mengenakan mahkota emas
sementara Tuhan Yesus mengenakan mahkota duri. Godfrey setuju untuk
menjaga Yerusalem. Dia menggunakan gelar “Pembela Makam Suci” (Defender
of the Holy Sepulcher). Kebanyakan dari tentara berziarah ke Makam Suci,
menuntaskan sumpah mereka dan kembali ke Eropa. Sebenarnya istilah
“perang salib” adalah istilah modern. Orang yang terlibat dalam “perang
salib” itu sendiri menggunakan istilah “ziarah”.
Tentara
Salib berhasil membangun Kerajaan Salib, yang dibagi menjadi empat
wilayah County of Edessa, Principality of Antiochia, County of Tripoly,
dan Kingdom of Jerusalem. Untuk menjamin keamanan Yerusalem, ordo
militer Kesatria St John (Knight of St. John, atau Hospitaller)
didirikan. Sayangnya kejayaan ini tidak bertahan lama.
|
Kingdom of Crusade |
Perang Salib Kedua
Pada
24 Desember 1144, County of Edessa jatuh ke tangan Turki dan Kurdi,
yang dipimpin oleh Zengi. Bangsa Eropa merasa perlunya Perang Salib
baru. Raja Perancis, Louis VII of France dan Raja Jerman, Conrad III,
memimpin Perang Salib Kedua yang gagal ini. Parahnya lagi, Tentara Salib
menyerang Damaskus, kota yang awalnya merupakan sekutu Tentara Salib.
Kegagalan yang kontras dengan Perang Salib Pertama ini membuat bangsa
Eropa merasa diri dihukum Tuhan. Akibatnya, banyak gerakan awam bangkit
memperbaiki kehidupan religius masyarakat Eropa saat itu. Kaum awam pun
ikut berperan dengan puasa dan doa. Namun Tuhan berkata lain. Di pihak
Islam bangkit Saladin, pemimpin hebat dari suku Kurdi, yang berhasil
mempersatukan dunia Islam melawan kerajaan Kristen Eropa yang
terpecah-pecah. Pada 1187, sultan yang gemar menyerukan jihad terhadap
orang Kristen ini menang mutlak di Pertempuran Hattin. Sejak saat itu,
satu per satu kota Kerajaan Salib jatuh ke tangan tentara Islam,
termasuk Yerusalem pada tanggal 2 Oktober 1187. Kejadian inilah yang
diangkat ke layar lebar dalam “Kingdom of Heaven”. Hanya tersisa
beberapa pelabuhan yang dikuasai Tentara Salib. Relik Salib Suci diambil
oleh tentara Islam.
|
Kekalahan Tentara Salib
pada Pertempuran Hattin |
Perang Salib Ketiga
Kekalahan
tragis ini memancing Perang Salib Ketiga, yang dipimpin oleh Kaisar
Jerman Frederik I Barbarossa, Raja Perancis Philip II Agustus, dan Raja
Inggris Richard I Lionheart. Kaisar Barbarossa tenggelam saat berusaha
menyembragi sungai dengan kuda lengkap dengan baju zirahnya. Tentara
Jerman pulang. Raja Phillip II juga pulang setelah berhasil mengalahkan
kota Acre. Perang Salib Ketiga sekarang menjadi tanggung jawab penuh
Raja Richard.
|
Ilustrasi yang menggambarkan
tenggelamnya Barbarossa |
Raja
Richard I Lionheart adalah petarung unggul, ahli taktik yang
berpengalaman dan pemimpin yang hebat, bahkan dihormati oleh Sultan
Saladin. Sebenarnya kedua pemimpin ini saling menghormati dan saling
mengakui. Raja Richard berhasil mengusai seluruh pantai Timur Tengah,
tetapi tidak berhasil menguasai Yerusalem. Richard kemudian mengadakan
gencatan senjata dengan Saladin dan kembali ke Eropa. Saladin berjanji
akan mengizinkan peziarah memasuki Yerusalem selama mereka tidak
bersenjata.
Perang Salib Keempat (1201-1204)
Perang
Salib Keempat, meski lebih dipersiapkan dan lebih heboh, tetap gagal
bahkan berakibat pahit, yaitu penjarahan Constantinople.
|
Tentara Salib menjarah Constantinople |
Perang Salib IV dimulai
pada tahun 1201, saat Count Tibald of Champagne mengusulkan hal ini
kepada Paus Innocent III, yang menyetujui rencana ini. Setahun kemudian,
diputuskan bahwa tujuan Perang Salib IV ini adalah Mesir. Satu-satunya
cara mencapai Mesir adalah melalui laut. Venesia bersedia menyediakan
4.500 kesatria, 9.000 squire dan sergeant, 20.000 infantri, dan 20.000
kuda, dengan imbalan 85.000 silver mark dan 50% jarahan. Masalahnya
Count Tibald meninggal. Tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh Boniface de
Monferrate. Boniface dipilih karena ia merupakan paman Putri Maria of
Jerusalem. Hubungan ini menjamin Tentara Salib IV akan diterima oleh
penguasa Kerajaan Salib (Crusade Kingdom) di Tanah Suci.
Boniface sendiri
merupakan teman Pangeran Philip of Swabia. Istri Philip adalah Putri
Irene Angelica of Byzantium. Saat itu, terjadi kudeta di Kekaisaran
Byzantium. Kaisar Isaac Angelus dikudeta oleh saudaranya Alexius III,
dibuat menjadi buta dan ditahan dalam penjara bawah tanah (dungeon).
Irene meminta Boniface untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan
ayahnya, Isaac Angelus, dan saudaranya, Alexius. Ternyata Alexius
berhasil melarikan diri dan sampai kepada Boniface. Alexius meminta
bantuan Boniface untuk merebut kembali kekaisarannya. Boniface setuju.
Latar belakang yang cukup
penting lagi adalah sikap Venesia. Mesir, bagi Venesia, adalah pasar
yang bergairah. Mereka tidak ingin Mesir dihancurkan. Pada April 1202,
hanya 2 bulan sebelum Tentara Salib IV dikirim, Venesia berhasil membuat
kesepakatan dengan Sultan Mesir, al-Adil, bahwa Tentara Salib IV tidak
akan sampai di Mesir.
Pada Juni 1202, Tentara
Salib telah berkumpul, siap diberangkatkan. Venesia menuntut sisa
bayaran 35.000 silver mark mereka. Doge Enrico Dandolo of Venice
berunding dengan Boniface. Enrico membenci orang Yunani, bukan saja
karena mereka adalah saingan dagang Venesia, melainkan karena ia
memiliki dendam pribadi. Enrico selama muda pernah terlibat perkelahian
di Constantinople yang menyebabkan dia hampir buta total. Enrico
akhirnya setuju memberangkatkan Tentara Salib IV. Enrico memiliki
rencananya sendiri. September 1202 merupakan saat di mana Tentara Salib
IV merebut Zara dari raja Hungaria. Kota Zara dulunya adalah milik
Venesia, kemudian direbut oleh Hungaria, dan sekarang Enrico
mengingikannya kembali. Meski enggan, Tentara Salib IV terpaksa menuruti
permintaan pengangkut mereka. Tentara Salib IV, dari Gereja Katolik
akhirnya menyerang wilayah Hungaria, sesama anggota Gereja Katolik. Paus
Innocent III segera meng-ekskomunikasi Tentara Salib IV tetapi setelah
mengetahui bahwa mereka dipaksa oleh Venesia, ekskomunikasi dicabut.
Saat di Zara, Pangeran
Alexius of Byzantium, menjanjikan bila Tentara Salib IV membantunya
merebut kembali kekaisarannya, dia akan melunaskan utang Tentara Salib
IV kepada Venesia, memasok Tentara Salin IV dengan 10,000 prajurit
Byzantium, menyediakan 500 pasukan berzirah untuk membantu
mempertahankan Mesir bila berhasil direbut, dan menjanjikan Gereja di
Constantinople mengakui keutamaan Roma. Perjanjian yang sangat
menguntungkan, terutama bagi Venesia yang kini bersedia mengangkut
Tentara Salib IV dari Zara pada April 1203.
Juni 1203, kapal Venesia
berhasil melewati “pertahanan rantai” Constantinople. Kaisar Alexius III
melarikan diri. Isaac Angelus dibebaskan, dan Pangeran Alexius
dimahkotai sebagai Kaisar Alexius IV pada 1 Agustus 1203. Masalah segera
muncul karena Alexius III telah mengosongkan perbendaharaan Kekaisaran
sebelum kabur dan Gereja di Constantinople menolak mengakui keutamaan
Paus. Bingung, Kaisar Alexius IV merampok Gereja Orthodox, meski tetap
tidak bisa memenuhi janjinya. Beberapa kelompok Tentara Salib
berkeliaran selama Kaisar belum mampu mengumpulkan uang. Sebuah masjid
di Constantinople dibakar oleh tentara Prancis. Kebakaran yang terjadi
melebar dan menghanguskan seluruh seksi kota di mana masjid itu ada.
Januari 1204, kemenakan
Alexius III, Alexius Marzuphlus, ingin melakukan kudeta. Dia menghasut
massa Constantinople mengadakan kerusuhan. Massa mengangkat Nicolas
Cannabus sebagai Kaisar baru. Marzuphlus memimpin sejumlah tentara
menuju istana, memenjara Cannabus, membunuh Alexius IV dengan
mencekiknya dengan senar busur, dan memukul Isaac Angelus hingga
meninggal beberapa hari kemudian. Kehilangan penjamin mereka, Tentara
Salib IV menyerang Constantinople pada 6 April 1204 dan berhasil berkat
mesin pengepung Venesia dan kebakaran dalam Constantinople yang
nampaknya dilakukan oleh mata-mata Venesia. Melihat kemengangan di depan
mata, Tentara Salib IV memilih Kaisar baru untuk Constantinople yang
berasal dari mereka. Venesia setuju dengan syarat bila Kaisar adalah
orang Frankish, Patriarch yang baru harus orang Venesia. Semua setuju.
Kemudian mereka melangkah ke kesepakatan pembagian jarahan. Istana, dan
25% kota Constantinople dan tanah Byzantium menjadi miliki Kaisar baru.
Sisa 75% tanah akan dibagi rata di antara Tentara Salib IV dan Venesia.
Tujuan Mesir terlupakan, sesuai dengan tujuan awal Venesia.
|
The Entry of Crusaders into Constantinople, oleh Delacroix |
Enrico melangkah lebih
jauh. Setelah berhasil memasuki Istana Byzantium, Enrico membalas dendam
pribadinya dengan mengumumkan bahwa para prajurit diizinkan menjarah
kota selama tiga hari. Setelah 3 hari, prajurit ditertibkan lagi dan
diharuskan membawa jarahan ke tiga tempat di kota. Seorang prajurit
Prancis yang menyembunyikan jarahan akhirnya digantung. Sekarang
pembagian jarahan. Setelah Venesia menerima pembayaran yang dijanjikan
Alexius IV, sisa jarahan dibagi rata antara Tentara Salib IV dengan
Venesia. Venesia menerima 400.000 mark, sesuatu yang sangat luar biasa.
Kemudian pembagian tanah. Boniface mendapatkan tanah yang cukup luas
temasuk Kreta, yang kemudian dibeli oleh Venesia.
Pada tanggal 16 Mei 1204,
Count Baldwin of Flanders dimahkotai menjadi Kaisar Latin Byzantium.
Seluruh Tentara Salib IV di-ekskomunikasi oleh Paus Innocent III. Mesir
telah dilupakan. Venesia mendapatkan keuntungan melebihi perkiraan
mereka.
Perang Salib Kelima (1217-1221)
Paus
Innocent III berniat membentuk Tentara Salib kelima tetapi meninggal
sebelum menyelesaikannya (1217). Perang Salib kelima ini ditujukan ke
Mesir tetapi gagal juga.
Perang Salib Keenam dan Ketujuh
Raja
Perancis, St. Louis IX memimpin dua Perang salib dalam hidupnya. Yang
pertama berhasil menguasai Damietta di Mesir, namun tentara Islam
berhasil merebutnya kembali. Usaha kedua dihabiskan oleh St. Louis IX
terutama untuk memperkuat pertahanan tanpa berhasil menguasai Yerusalem.
Pada 1290, beliau berusaha menyerang Tunis namun meninggal dalam
perjalanan karena sakit dan usia tua. Pada tahun 1291, tentara Islam
berhasil mengusir Tentara Salib, Kerajaan salib lenyap dari peta.
|
St. Louis IX |
Mengapa Perang Salib gagal?
Pada
zaman Perang Salib, tentara Islam tumbuh menjadi kekuasaan adidaya
dunia. Mereka mengusai perdagangan dan ilmu pengetahuan. Salah satu hal
penting lainnya adalah tentara Islam lebih bersatu dibandingkan kerajaan
Eropa.
Sementara
pihak lain menuding kelemahan iman bangsa Kristen Eropa, saya ingin
melihat dari sudut yang lebih duniawi. Tentara Salib berasal dari
Eropa, menempuh perjalanan jauh hingga ke Timur Tengah. Saat itu,
transportasi tidak sebagus sekarang. Korban jatuh dengan cepat selama
perjalanan, entah karena kelelahan atau kecapaian. Medan pertempuran
juga berbeda. Medan Eropa berupa hutan di mana kuda adalah suatu
keuntungan sementara di Timur Tengah, medan perang berupa padang pasir
panas di mana unta adalah keuntungan. Belum lagi peristiwa bodoh
tenggelamnya Kaisar Barbarossa. Ini menandakan Tentara Salib tidak
menguasai medan dengan baik. Sistem logistik belum berkembang. Tentara
Salib bertempur dengan baju zirah yang cocok di udara sejuk Eropa tetapi
baju perang tentara Islam yang simpel terbukti lebih cocok untuk udara
gurun. Sering terjadi perdebatan kekuasaan antara pemimpin Tentara Salib
yang baru datang dengan penguasa Kerajaan Salib yang sudah ada duluan.
Ini disebabkan karena kerajaan Kristen Eropa bukan suatu kerajaan
tunggal sehingga persaingan kuasa terjadi. Belum lagi, kudeta dan perang
yang terjadi di daerah asal sementara sang raja berperang di Timur
Tengah. Semua hal ini menyebabkan kekalahan Tentara Salib.
Perkembangan Lanjut
Pada
tahun 1480, Sultan Mehmet II menguasai Otranto dan berniat menguasai
Roma. Sultan ini meninggal tiba-tiba dan rencananya pun ikut meninggal
bersama dengannya. Pada 1529, Sultan Sulaiman The Magnificent mengepung
Wina tetapi gagal merebutnya karena tidak membawa artileri yang memadai
lantaran hujan lebat.
|
Sultan Mehmet II |
Sementara
itu Renaissance merebak di Eropa. Sekarang Eropa berkembang pesat,
kekuatan ekonomi tentara Islam berhasil diimbangi. Ancaman invasi Islam
ditundukkan di Pertempuran Lepanto tahun 1571. Sejak saat itu, tidak ada
lagi usaha signifikan dari Islam untuk menduduki Eropa. Saya akan
menulis artikel terpisah mengenai Pertempuran Lepanto. Di Eropa sendiri
terjadi perubahan. Reformasi Protestan terjadi. Mereka menyangkal
keutamaan Paus dan doktrin indulgensi. Ini menyebabkan mimpi Perang
salib terkubur dan tak pernah dipikirkan lagi.
Istilah
Perang Salib sendiri sering dipakai untuk hal-hal lain yang tidak
berhubungan dengan Timur Tengah. Contohnya Reconquista Spanyol sering
disebut Perang Salib. Inkuisisi Abad Pertengahan terhadap kaum Cathar
juga disebut Perang Salib. Perlawanan terhadap ajaran Jan Hus sekitar
1415 juga sering disebut Perang Salib. Ada pula Perang Salib yang
berhubungan dengan Timur Tengah tetapi tidak termasuk dalam ketujuh
rangkaian di atas misalnya Perang Salib Alexandria 1365, Perang Salib
Nikopolis 1396 dan Perang Salib Varna 1444.
Sekarang
mengapa kaum Islam jengkel bila Perang Salib disinggung-singggung?
Bukannya mereka yang menang? Sebenarnya orang Islam bergembira akan
kemenangan mereka hingga abad ke-19, saat kolonialisme Eropa. Pada
sejarawan saat itu mendengung-dengungkan Perang Salib sebagai
kolonialisme Eropa pertama. Karena kolonialisme dibenci dan menimbulkan
sakit hati, Perang Salib pun dibenci dan menimbulkan sakit hati. Yang
tidak dimengerti adalah Perang Salib adalah usaha bertahan bangsa Eropa
Kristen dari ancaman orang Muslim yang merebut wilayah mereka, seperti
yang dijelaskan di atas. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kolonialisme. Juga tidak perlu terburu-buru meminta maaf kepada orang
Islam mengenai Perang Salib. Toh mereka juga yang cari gara-gara
duluan. Orang yang meminta maaf perlu mengerti akan hal apa yang dia
mintai maaf. Perang Salib bukanlah kesalahan bangsa Kristen Eropa. Tidak
perlu kita sekarang meminta para leluhur Kristen Eropa dikutuk. Perang
Salib adalah bagian dari persaingan antara dua agama besar yaitu Kristen
dan Islam. Persiangan ini telah bermula sejak abad ketujuh hingga
sekarang. Perang Salib hanyalah letupan dari sesuatu yang mendidih di
bawah permukaan. Meminta maaf atas Perang Salib memang suatu langkah
yang mungkin dapat dipuji tetapi tidak akan dihargai oleh orang Islam.
Lebih baik bila fakta sejarah mengenai Perang Salib tidak dilihat dalam
kerangka benar-salah melainkan sebagai suatu fakta sejarah yang telah
terjadi.
Kesimpulan
Perang
Salib adalah usaha bangsa Kristen Eropa untuk membebaskan Timur Tengah
dari cengkraman Islam. Para Tentara Salib adalah orang-orang saleh yang
rela menanggung derita perang demi tujuan mulia. Meski kenyataannya
Perang Salib tidak sukses besar, ini tidak bearti Tuhan meninggalkan
Gereja Katolik. Tuhan dapat membawa kebaikan dari sesuatu yang nampaknya
tidak baik. Perang Salib bukanlah kesalahan sejarah. Perang Salib
adalah peristiwa Abad Pertengahan sehingga analisis mengenainya harus
menggunakan kacamata Abad Pertengahan, bukan kacamata zaman modern.
Perang Salib memang harus terjadi. Deus Vult.
Perang Salib Versi Islam
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang
lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111) –
dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog
terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu
banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul
fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam
hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah
umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya
besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang
jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu,
al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad
melawan hawa nafsu).
Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan
kaum
Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan
Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib
yang memasuki
Jerusalem (1099)
kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota
Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki,
karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress
menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir
setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been
stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan
tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya,
dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar
pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia
seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang
dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans,
for they were burned on pyres like pyramid, and no one
save
God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael
Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern
Europe, (
New York, St. Martin’s Press, 1999)).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena
itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali
dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna
qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki
negeri Muslim. Sebagai contoh,
Robert Irwin,
dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997),
menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai
tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia
tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai
tulisannya.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii,
al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam
pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan
perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka
status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ
al-Zuhayliy mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad
diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika
sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain.
Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi
fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy,
al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap
al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki
Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai
sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan
pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam
khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami
kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid
al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan
sufisme al-Ghazali. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi
al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang
posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta
dan alasan Imam al-Ghazali.” (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali
Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din,
al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak
menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali
menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat
al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti
firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali
menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang
jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar
ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam.
Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan
makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab
al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat
memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini.
Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad
adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital
al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid
al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy
menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan
untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa,
harta, dan lisan mereka.
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas
jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir
al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari
Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan
Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun
setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin
al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali
al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat
tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi
yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum
Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya.
Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum
Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman
Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim,
menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan
menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan
menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk
mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib
menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan
dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan
pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral”
dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami,
melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului
dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar
pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan
melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang
melawan pasukan Salib.
Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall Christie,
al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad.
Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah.
Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka
mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu
lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan
kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri
terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota
di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya,
maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan
penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai.
(Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of 'Ali
ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie.
http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).
Jihad bil-ilmi
Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi
moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan
jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama
seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.
Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan
mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud,
dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang
rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah.
Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab
tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat
Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali
melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala
sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah.
Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka
rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar.
Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi
dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya
untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan,
bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk
tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi)
dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu,
al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi
dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi
ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali
mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan
keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali
inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi
Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu
generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota
Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib.
Perang Salib Versi Kristen/Khatolik
Menggambarkan perjumpaan Islam dan
Kristen dalam sejarah dapat diberi dua warna yang mencolok yakni warna kelam
yang meliputi pertentangan, kecurigaan, permusuhan bahkan perang. Warna yang
kedua warna cerah yang meliputi kehidupan bersama dalam hubungan yang damai,
saling percaya dan memperkaya. Kedua warna ini lahir sebagai konsekwensi dari
interaksi yang tak terhindarkan dan sadar atau tidak dialami oleh kedua belah
pihak. Perjumpaan Islam dan Kristen bukan dimulai sejak perang salib. Jauh
sebelumnya bahkan pada masa Nabi Muhammad s.a.w telah dicatat perjumpaan
tersebut. Perluasan kekuasaan islam dengan cara militer (perang) sampai ke
daerah-daerah kristen seperti pendudukan Spanyol bagian selatan dan
daerah-daerah di Italia, a.l Sisilia atau Perancis bagian selatan menimbulkan
konsekwensi-konsekwensi tertentu, misalnya saja tersingkirnya kekuasaan lama
oleh penguasa baru. Di Spanyol bangsawan Visighot terpaksa melarikan diri
setelah pendudukan Dinasti Islam atas Spanyol. Namun dipihak lain sebuah
kehidupan antarbudaya dan antaragama tidak dapat dielakkan. Montgomery watt
mencatat bahwa masa sebelum Perang Salib, kaum Muslim, Kristen dan Jahudi di
Spanyol dapat hidup berdampingan secara damai, hal ini disebabkan oleh
pemahaman bahwa penaklukan Spanyol oleh dinasti Islam tidak dilatarbelakangi
oleh semangat keagamaan bahkan sebaliknya menurut Watt gagasan-gagasan yang
dominan pada waktu itu bukanlah gagasan keagamaan dalam hal ini Islami melainkan
gagasan Arab sekular
.
Perang Salib merupakan salah satu peristiwa pemberi warna kelam
dalam perjalanan sejarah perjumpaan Islam dan Kristen, warna kelam ini tidak
jarang mempengaruhi hubungan Islam Kristen hingga dewasa ini. Oleh sebab itu
sangat penting untuk melihat dan mengambil pelajaran yang berarti dalam
peristiwa ini untuk membangun suatu kehidupan bersama yang lebih damai dan
jujur.
- Motivasi pelaksanaan Perang Salib
(1096-1270/abad ke-11-13):
Peristiwa perang salib yang
berlangsung kurang lebih 3 abad lamanya dan dalam bentuk 7 tahap
dilatarbelakangi oleh motivasi yang berbeda-beda. Yang melatarbelakangi perang
salib pertama sampai pada perang salib yang ke-3 paling tidak ada 2 faktor yang
bagi para penguasa dan elit agama di Eropa dalam hal ini Paus (pimpinan gereja
katolik) perlu untuk mengangkat pedang untuk menyatakan perang terhadap
kekuatan Islam. Kedua faktor tersebut adalah:
- faktor internal yakni konflik internal
Eropa: Sampai pada abad pertengahan, kekristenan (Gereja) bergandengan
tangan dan menjalin hubungan yang mesra namun manipulatif dengan
kekuasaan politik atau kekaisaran. Hubungan yang demikian praktis
melahirkan konsekwensi tersendiri: agama dijadikan alat penglegitimasian
kekuasaan dan demikian halnya sebaliknya politik dijadikan sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan seperti otoritas keagamaan; interes politik
menjadi interes agama dan sebaliknya; agama me- dan di- manipulasi oleh
politik dan sebaliknya. Kekuatan politik dipakai untuk menghadapi
lawan-lawan gereja seperti kelompok yang diklaim sebagai kafir dan
kelompok sekte atau heresi.
Kekaisaran
Byzantinum dalam ancaman penguasa Islam berbangsa Turki Seljuk dan Byzantinum
mengalami kekalahan dalam peperangan tersebut. Akibat dari kekalahan ini,
penguasa Byzantinum memohon bantuan militer kepada Paus Urbanus II. Permohonan
bantuan ini dilihat sebagai
momentum untuk mengatasi konflik antara kedua pusat
kekristenan, yakni gereja Katolik dengan pusatnya
Roma dengan gereja
Orthodox Timur Byzantinum dengan pusatnya
Konstantinopel
. Dengan kata
lain dibalik perang terhadap penguasa Islam ada terselip maksud pemersatuan
gereja barat dan timur. Maksud tersebut hingga dewasa ini tidak tercapai,
sampai saat ini kedua pusat kekristenan: Gereja Katolik Roma dan Gereja
Orthodox Timur masih terpisah.
- Faktor eksternal: Islam sebagai kekuatan
yang mengancam Eropa.
Peradaban Islam
pada abad ke –11 tengah mengalami kemajuan yang sangat pesat di hampir dalam
segala bidang. Bukan saja arsitektur yang megah melalui bangunan-bangunan
mesjid yang luarbiasa indahnya menjadi simbol bangkitnya peradaban Islam dewasa
itu, namun di bidang Ilmu Pengetahuan, Astronomi, Filsafat dan Medis pun Islam
pernah menjadi parameter dunia. Munculnya nama-nama besar seperti Avveroes (Ibn
Rush) sang Filosof yang karya terjemahan dan komentarya terhadap karya Filosof
Yunani Aristoteles dipakai oleh para teolog Barat seperti Thomas Aquino, atau
sang Dokter ternama Ibn Sinna (Avicienna) yang karyanya digunakan cukup lama di
sekolah-sekolah kedokteran Eropa. Bangkitnya peradaban dibarengi dengan
perluasan kekuasaan Islam. Hingga Abad ke-11 Islam telah menguasai
wilayah-wilayah kekaisaran Byzantinum seperti Suria, Mesir bahkan seluruh
daerah Afrika Utara (sampai Marroko). Perluasan kekuasaan ini kearah barat
sampai ke Spanyol Selatan dan kearah timur, Islam menguasai wilayah-wilayah
seperti Rusia bagian selatan (Transoxania) bahkan telah menguasai Asia Tengah
sampai ke Afganistan.
Bagi Eropa
kenyataan ini melahirkan kekaguman disatu pihak dan ketakutan dipihak lain. Ada
pemahaman bahwa Islam telah menguasai separuh dunia. Penguasa dan pimpinan
agama Kristen di Eropa hampir kehilangan nyali menghadapi kekuatan Islam yang
bangkit pada masa itu. Islam dilihat sebagai bahaya yang mengancam eksistensi
Eropa secara budaya maupun religi. Keberhasilan penguasa eropa untuk merebut
kembali wilayah-wilayah Spanyol selatan seperti Toledo tahun 1085 dan Sisilia
tahun 1091 melahirkan kepercayaan diri yang baru akan kekuatan Eropa untuk
menghadapi kekuatan Islam
.
Faktor lainnya
adalah keberadaan Yerusalem. Sebelum perang salib yang pertama (sampai awal
abad ke-11), Yerusalem berada dibawah kekuasaan Islam dalam hal ini dinasti
Fatimiyya. Meskipun demikian Yerusalem masih menjadi tempat Ziarah yang paling
populer bagi umat Kristen Eropa secara khusus pada abad ke-11. Pelaksanaan
ziarah ke Yerusalem diberitakan mengalami gangguan dari pihak-pihak perampok.
Dengan kata lain keamanan pelaksanaan ziarah ke kota suci tidak dapat lagi
dijamin. Hal ini dilihat oleh pimpinan Gereja Katolik Roma untuk bentindak
memberi keamanan kepada para peziarah bukan dengan cara damai melainkan dengan
kekerasan yakni perang untuk merebut kota suci tersebut.
Motivasi perang salib ke-4 sampai
ketujuh adalah merebut kembali Konstantinopel dan mempertahankan Yerusalem
sebagai kota suci umat Kristen. Upaya ini gagal: Islam berhasil merebut kembali
Yerusalem pada tahun 1244 dan mulai saat itu Yerusalem berada dibawah
pemerintahan Islam sampai pembentukan negara Israel 1948 (dan sampai saat ini
keberadaan Yerusalem menjadi persoalan yang serius antara palestina dan
Israel); kemudian Konstantinopel jatuh ketangan dinasti Usmaniyya dan menjadi
bagian dari Negara Turki sampai dewasa ini.
- Perang Salib: dari Yerusalem ke Konstantinopel
Ekspedisi militer tentara Salib
yang pertama tiba dipantai Levant tahun 1096 dan menduduki Yerusalem dan
beberapa daerah-daerah sekitar. Perang salib I ini berlangsung 3 tahun lamanya
(1096-1099). Tahun 1144 salah satu
daerah yang diduduki oleh tentara salib yakni Edessa direbut kembali oleh
penguasa Islam yakni Atabeg dari Mosul. Perebutan ini menjadi alasan bagi
pecahnya perang salib yang kedua 3 tahun kemudian yakni tahun 1147. Tentara
salib mengalami kekalahan pada perang salib ke-dua. Tampilnya pemimpin
kharismatik Islam sultan Salahuddin al-Ayyubi (sultan Saladin) yang berhasil
mempersatukan Mesir dan Syria dibawah kekuasaannya berhasil pula memukul telak
tentara salib dan merebut kembali kota suci Yerusalem pada tahun 1187.
Perebutan kembali Yerusalem oleh
Sultan Saladdin dilihat oleh penguasa kristen barat sebagai malapetaka yang
harus dijawab dengan perang salib berikutnya (PS III). Perang salib ke-3 tidak
membuahkan kemajuan yang berarti sehingga pada akhirnya penguasa barat
mengalihkan perhatian mereka ke Konstantinopel. Perang salib yang ke-4 dalam
rangka merebut kembali Konstantinopel yang diduduki oleh penguasa Turki Seljuk.
Peperangan yang brutal diakhiri dengan penguasaan tentara salib atas
Konstantinopel tahun 1204. Sementara itupun upaya untuk mengambil alih
Yerusalem tetap dilaksanakan setelah masa Sultan Saladin, tentara Salib pernah
menduduki Yerusalem namun sangat singkat dan pada akhirnya Yerusalem kembali
jatuh ditangan penguasa Islam.
Ketiga phase perang salib yang
terakhir mencatat kekalahan dipihak tentara-tentara Kristen barat. Berakhirnya
perang salib ditandai dengan keberhasilan penguasa Mamluk mengambilalih
sisa-sisa daerah-daerah yang masih diduduki oleh tentara salib. Secara garis
besar perang salib yang berlangsung 3 abad lamanya telah mencatat kegagalan
dipihak barat melawan kekuatan Islam.
- Akibat: Ketegangan dan saling memperkaya
Tidak dapat disangkal bahwa warna
kelam dari peristiwa tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan ini telah memberi
kontribusi yang cukup dominan dalam kelanjutan hubungan dan perjumpaan pengikut
kedua agama besar ini di dunia. Goseran sejarah ini pun pernah bahkan bagi
sebagian orang di Indonesia masih mewarnai hubungan umat Islam dan Kristen,
meskipun secara tidak langsung masyarakat Indonesia tidak terlibat didalamnya,
namun kedua agama yang dibawa ke Indonesia telah memiliki catatan sejarah yang
kelam.
Namun tidak dapat disangkal pula
bahwa perang salib telah melahirkan paradigma baru dalam hubungan
Islam-Kristen. Bersamaan dengan hadirnya tentara-tentara salib didaerah-daerah
Islam, berlangsung pula hubungan dagang antara wilayah-wilayah Kristen Eropa
dengan pedagang Islam Arab. Hubungan ini anehnya tidak terputus akibat perang
salib, malahan berjalan beriringan. Disamping itu fenomena yang lebih menarik
lagi adalah kenyataan akan hubungan Islam dan Barat dalam bidang Ilmu
Pengetahuan. Pada masa-masa perang salib inilah terjadi peningkatan
penerjemahan karya-karya Arab seperti karya-karya agung dari Averoes dan Ibn
Sinna kedalam bahasa latin. Pada masa inipun semangat dari pihak barat untuk
mempelajari karya-karya ilmiah Arab semakin meningkat.
Pada masa ini pula untuk pertama
kalinya al-Qur'an diterjemahkan kedalam bahasa Latin untuk lebih memahami apa
sebenarnya agama Islam itu. Penerjemahan buku-buku teologi Islam kedalam bahasa
latin menjadi dasar dan landasan terbentuknya studi khusus tentang
Orientalisme.
Kesimpulan
Yang menarik untuk dikaji adalah
Yerusalem bagi bayak ahli sejarah dilihat sebagai faktor yang cukup dominan
dalam penggagasan perang salib, namun kelihatanya cukup sepele dan sederhana
kalau upaya pengamanan peziarah yang dikedepankan dalam menggagas perang salib
tersebut terutama jika dibandingkan dengan pengorbanan daya dan dana yang
dibutuhkan untuk ekspedisi militer pada waktu itu. Saya lebih melihat bahwa isu
Yerusalem dijadikan pemicu semangat para tentara salib sementara faktor penentu
dalam hal ini adalah murni politik yakni upaya pembentengan diri dari ancaman
yang sudah semakin mendekati jantung kekuasaan Eropa disatu sisi dan disisi
lain adalah interes internal politik gereja (katolik) untuk menyatukan
negara-negara kristen katolik yang pada saat itu tengah berperang. Sehingga
perang salib digunakan sebagai alat untuk menyatukan gereja kristen barat
(Roma) dan timur (konstantinopel).
Isu agama yang kedua namun sentral
adalah simbol salib. Salib dijadikan simbol utama yang mewarnai seluruh
ekspedisi militer berdarah tersebut tidak lain untuk membangkitkan semangat
tentara salib untuk menjalankan tugas yang hampir tidak masuk akal tersebut
jika melihat kondisi infrastruktur dan jarak antara Eropa dan timur tengah
dewasa itu demikian halnya jika memperhatikan kekuatan Islam pada waktu itu.
Untuk membangkitkan semangat para tentara salib supaya banyak orang Kristen
bersedia ikut dalam barisan militer salib, maka Paus mengeluarkan surat
penghapusan dosa bagi para tentara yang ikut berperang dengan menjanjikan
keselamatan bagi mereka jika mereka mati syahid dalam pertempuran salib.
Salib yang dalam pemahaman iman
Kristen adalah simbol perdamaian,
dimana melalui Salib Yesus Kristus telah mengorbankan diriNya untuk perdamaian
dunia, Salib juga merupakan simbol kehidupan, dimana Yesus Kristus telah mati
di Kayu Salib agar supaya manusia dapat memiliki hidup yang berharkat dan
bermartabat. Simbol ini telah disalahgunakan bahkan dihianati oleh para
pemimpin gereja Katolik . Salib telah dibalikkan menjadi simbol peperangan,
penindasan manusia, kematian bahkan penghancuran kehidupan yang dibela oleh
Kristus sendiri.
Secara keseluruhan saya melihat
perang salib merupakan salah satu konsekwensi dari hubungan yang mesra dan
manipulatif antara agama dan politik sehingga agama dalam kedekatannya dan
keterikatannya dengan kekuatan politik tidak lagi mampu untuk keluar dari
lingkaran yang menyesakkan untuk kembali memfungsikan diri sebagai kekuatan
pendamai, kekuatan transformatif, kekuatan yang menghidupkan bahkan kekuatan
yang memanusiakan. Dalam kondisi semacam itu agama menjadi atau dijadikan
kekuatan yang manipulatif dan akibatnya adalah jatuhnya korban manusia yang tak
terhitung jumlahnya dan kemanusiaan tercabik-cabik. Ini yang saya maksud dengan
pelajaran yang dapat kita petik dari warna sejarah yang kelam untuk tidak lagi
mengulangnya hari ini dan di kemudian hari.